Relokasi Warga Gaza: Desakan Israel dan Peran Amerika Serikat

Relokasi Warga Gaza menjadi isu global baru setelah laporan dari Axios menyebut bahwa kepala badan intelijen Israel, David Barnea, berada di Washington pekan ini untuk meminta dukungan pemerintahan AS. Fokus utamanya: meyakinkan sejumlah negara menerima pengungsi Palestina dari Gaza.
Dalam pertemuan tertutup, Barnea — utusan khusus PM Netanyahu — bertemu dengan Steve Witkoff, penasehat istimewa Presiden Trump. Hasilnya, muncul wacana kepada Amerika Serikat untuk memberikan insentif politik dan ekonomi kepada negara-negara calon penerima, antara lain Indonesia, Libya, dan Ethiopia.
1. Latar Belakang Wacana: Dari Gagasan Trump hingga Kerja Sama Mossad
Fokus Kata Kunci “Relokasi Warga Gaza” agam ukiran sejak Februari lalu, saat Presiden Donald Trump mengemukakan ide memindahkan lebih dari dua juta penduduk Gaza untuk penataan ulang kawasan tersebut—meski kemudian mendapat tekanan internasional dan tertunda.
Meski proposal tersebut berhenti, Netanyahu menyatakan dukungannya konsisten. Mossad, melalui David Barnea, ditugaskan untuk melobi negara-negara calon penerima. “Kami hampir mencapai kesepakatan dengan beberapa negara,” ujar Netanyahu—menegaskan keberlanjutan inisiatif ini.
2. Alasan Pemindahan dan Pencarian Negara Penerima

Mengapa “Relokasi Warga Gaza” muncul lagi? Ada beberapa motif:
-
Tata ulang keamanan Gaza: Israel ingin mengganti rezim pemerintahan di Gaza setelah konflik berkepanjangan.
-
Tekanan diplomatik: Mengurangi jumlah warga sipil yang terdampak perang.
-
Modal diplomasi bagi AS dan Israel: Menawarkan paket insentif kepada negara yang menerima pengungsi guna menunjukkan inisiatif solusi damai.
David Barnea menyatakan bahwa Indonesia, Libya, dan Ethiopia sedang mengalami komunikasi awal. AS digadang-gadang menjadi mediator dalam penciptaan paket insentif.
3. Respons Amerika Serikat Terhadap Usulan
Menurut laporan Axios (18 Juli 2025), AS belum memberikan komitmen resmi. Steve Witkoff disebut mempertimbangkan dari sisi legal, politik, dan kemanusiaan, namun memilih bersikap hati-hati karena tekanan domestik dan regional dari pertimbangan untuk Relokasi Warga Gaza.
Sumber anonim mengatakan:
“Witkoff belum memberikan komitmen,”
menandakan bahwa AS masih mempertimbangkan implikasi jangka panjang dan kestabilan kawasan .
4. Kontroversi Indonesia: Politik Dalam Negeri di Ujung Timbangan

Kalau memang melibatkan Indonesia dalam Relokasi Warga Gaza, akan timbul perdebatan berat:
-
Tidak ada hubungan diplomatik resmi antara Indonesia–Israel. Segala bentuk kerjasama harus melewati putusan presiden atau sidang kabinet.
-
Terdapat dukungan ekstrem pada rakyat Palestina dalam opini publik dan parlemen.
-
Para pengamat hukum menyoroti potensi konflik dengan UU Kewarganegaraan dan imigrasi, serta tekanan dari kelompok pro-Israel dan pro-Palestina.
Kepala LSPR dalam bidang hubungan internasional, Dr. Herman Fachri, menyatakan:
“Secara hukum, menerima pengungsi memerlukan pembentukan regulasi baru dan persetujuan internasional.”
5. Perspektif Global dan Kendala Kemanusiaan

Secara global, “Relokasi Warga Gaza” menghadapi sejumlah tantangan besar:
-
Penolakan negara Arab & internasional: Kroasia, Tunisia, Yordania, hingga Uni Eropa sebelumnya mengecam rencana Trump.
-
Masalah integrasi sosial: Pengungsi Gaza menghadapi risiko kesulitan bahasa, budaya, pekerjaan, dan trauma perang.
-
Peran lembaga internasional: UNHCR dan lembaga kemanusiaan harus dilibatkan sejak awal prosedur relokasi.
Amerika Serikat disebut siap memberi insentif finansial, berupa dana pembangunan infrastruktur, pelatihan kerja, hingga bantuan sosial bagi negara penerima.
Kalender Langkah–Langkah Strategis Menuju Relokasi
-
Pendekatan diplomatis awal
Mossad telah memulai kontak, terutama dengan Libya, Ethiopia, dan dialog informal di Indonesia. -
Penawaran insentif
AS diposisikan sebagai penyeimbang melalui paket bantuan ekonomi & politik. -
Kajian legal & regulasi
Negara calon penerima wajib membuat kerangka hukum menangani pengungsi secara permanen. -
Studi penerimaan & integrasi
Melibatkan UNHCR dan NGO untuk survei kebutuhan rumah, kerja, dan pelayanan kesehatan pengungsi. -
Pengesahan melalui diplomasi publik
Warga dan legislatif masing‑masing negara harus diyakinkan melalui data dampak sosial-ekonomi dan nilai kemanusiaan.
Tantangan Khusus untuk Indonesia
-
Politik domestic: Kenaikan tensi pro‑Palestina membuat parlemen harus bicara terbuka soal argumen kemanusiaan vs diplomasi bilateral.
-
Resistensi publik: Ormas dan masyarakat rentan memobilisasi protes besar-besaran.
-
Keamanan nasional: Perlu pengawasan ekstremisme dan jaminan stabilitas sosial.
-
Koordinasi lintas sektor: Departemen Luar Negeri, Imigrasi, Kemenkes, dan BNPB harus menyusun protokol darurat.
Menurut data terbaru Kemenlu, Indonesia menerima rata-rata 1.500 pengungsi per tahun dari berbagai konflik. Skala Gaza (2 juta jiwa) jauh melampaui kapasitas biasa, membuat relokasi massal sebagai tantangan struktural dan finansial.
Apakah Relokasi Warga Gaza Ke Negara Lain Dapat Benar-Benar Terwujud?
Relokasi Warga Gaza saat ini masih di tahap wacana intensif, dengan:
-
Komunikasi awal antara Mossad–AS dan beberapa negara.
-
AS berada di posisi penentu, karena memiliki kendali dana dan diplomasi.
-
Indonesia menghadapi dilema politik dan hukum luar biasa khususnya jika memang diikutkan.
-
Kesiapan negara-negara penerima lain (Libya, Ethiopia) masih objektif dan terikat kepada regulasi lokal serta tekanan kelompok masyarakat sendiri.
Untuk langkah selanjutnya: perlu ada pernyataan resmi dari Pemerintah AS dan Indonesia soal legalitas, peran organisasi internasional, dan mekanisme pelaksanaan.