7 Fakta Exclusive tentang Eksekusi Stephen Bryant – Terpidana yang Menantang Polisi dengan menulis “Catch Me If U Can” menggunakan darah korban

7 Fakta Exclusive tentang Eksekusi Stephen Bryant – Terpidana yang Menantang Polisi dengan menulis “Catch Me If U Can” menggunakan darah korban

Stephen Bryant yang kini berusia 44 tahun dijadwalkan akan dieksekusi pada tanggal 14 November 2025 setelah pengadilan tertinggi di Negara Bagian Carolina Selatan mengeluarkan surat kematian.
Eksekusi ini menarik perhatian publik karena sejumlah elemen luar biasa dalam kasusnya — dari pesan provokatif yang ditinggalkan kepada polisi, hingga pilihan metode hukuman mati yang tersedia. Di bawah ini adalah rangkuman 7 fakta exclusive terkait eksekusi Stephen Bryant.

stephen bryant

1. Kasus dan kekejaman yang dilakukan Stephen Bryant

Stephen Bryant didakwa atas pembunuhan sejumlah orang di Kabupaten Sumter, Carolina Selatan, pada Oktober 2004.
Salah satu korban utama adalah Willard “TJ” Tietjen, yang ditemukan tewas tertembak beberapa kali di rumahnya. Bryant tidak hanya membunuhnya, tetapi juga membakar bagian tubuh korban (mata korban dibakar rokok) dan menulis di dinding dengan darah korban pesan: “victim 4 in 2 weeks. catch me if u can.”
Selain itu, jaksa menyebut bahwa Bryant juga menembak dua pria lainnya yang sedang buang air kecil di pinggir jalan setelah memberikan tumpangan kepada mereka.
Kejahatan ini membuat ketakutan meluas di Sumter County sebab modusnya acak dan brutal.

2. Tanggal Eksekusi dan Prosedur Pilihan Metode

Surat eksekusi untuk Bryant dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Carolina Selatan pada hari Jumat sebelumnya, menolak permohonan penundaan dari tim pengacaranya.


Bryant punya waktu sampai 31 Oktober untuk memilih metode eksekusi: injeksi mematikan (lethal injection), regu tembak (firing squad), atau kursi listrik (electric chair).
Jika ia tidak memilih salah satu, maka prosedur default akan diberlakukan. Kehadiran tiga opsi ini sendiri mencerminkan kebijakan eksekusi di Carolina Selatan yang telah diperluas dalam beberapa tahun terakhir.

3. Signifikansi Hukum Eksekusi di Carolina Selatan

Eksekusi Bryant akan menjadi yang ke-50 bagi negara bagian tersebut sejak diberlakukannya kembali hukuman mati pada 1985.
Lebih dari itu, ini adalah eksekusi ketujuh dalam kurang dari 14 bulan setelah penghentian sementara hukuman mati selama 13 tahun untuk masalah ketersediaan obat suntik.
Dengan demikian, kasus Stephen Bryant ini menjadi sorotan karena masuk dalam gelombang baru eksekusi yang kembali aktif.

4. Alasan Penundaan yang Ditolak dan Bandingnya

Tim pembela Bryant sempat meminta penundaan karena masalah shutdown pemerintah AS yang berdampak pada kemampuan pengacara federalnya untuk mengajukan banding. Permintaan ini ditolak oleh pengadilan.
Permohonan banding terakhir ke Mahkamah Agung AS juga ditolak.
Dengan demikian, opsi hukum terakhir nyaris habis, membuka jalan bagi pelaksanaan eksekusi pada tanggal yang ditetapkan.

5. Latar Belakang Pelaku: Trauma, Penyalahgunaan Zat, dan Kejiwaan

Pembela Stephen Bryant mengajukan bahwa Bryant pernah mengalami pelecehan seksual oleh empat kerabat laki-lakinya saat masih anak-anak, hal yang menurut mereka memicu gangguan psikologis berat.


Selanjutnya, Stephen Bryant diketahui menggunakan methamphetamine dan bahkan merokok ganja yang disemprot insektisida sebagai cara mengatasi trauma.
Meski demikian, pengadilan menolak alasan ketidaksadaran hukum yang diajukan oleh pembela dan memutuskan bahwa Bryant dapat dieksekusi secara sah.

6. Kontroversi Metode Eksekusi di Amerika Serikat dan Carolina Selatan

Pemilihan metode eksekusi menjadi salah satu poin kontroversi utama. Metode firing squad dan kursi listrik dalam beberapa kasus dikritik sebagai “hukuman yang kejam dan tak lazim”.
Contoh nyata: dalam eksekusi sebelumnya oleh Carolina Selatan, seorang terpidana yang memilih firing squad sempat mengalami luka tembak yang tidak langsung mengenai jantung, menimbulkan pertanyaan atas prosedur kemanusiaan.
Selain itu, kesulitan mendapatkan obat untuk injeksi mematikan menyebabkan negara bagian ini memperluas metode hukuman mati tahun-terakhir.
Kasus Stephen Bryant menjadi ujian terbaru bagi sistem hukum dan etika terkait penghukuman mati di AS.

7. Implikasi bagi Korban, Masyarakat, dan Sistem Peradilan

Keluarga korban, seperti anak Tietjen yang menelepon ayahnya dan hanya dijawab suara tak dikenal yang berkata “I’m the prowler,” mengalami trauma dan rasa kehilangan yang mendalam.
Masyarakat Sumter County sempat hidup dalam ketakutan ketika serangkaian pembunuhan acak ini terjadi, membuat polisi melakukan pemeriksaan massal di jalan-jalan desa.
Bagi sistem peradilan, kasus Stephen Bryant ini memperingatkan bahwa kombinasi kejahatan kejam, pelaku dengan latar belakang trauma dan penyalahgunaan zat, serta metode eksekusi yang diperdebatkan, menuntut perhatian dari publik dan pembuat kebijakan terkait hukuman mati, keadilan dan kemanusiaan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *