Twitter Killer Japan kembali menjadi sorotan setelah eksekusi Takahiro Shiraishi, pelaku pembunuhan berantai sembilan orang, dilaksanakan pada 27 Juni 2025. Eksekusi ini merupakan yang pertama di Jepang sejak Juli 2022. Berikut lima fakta penting seputar kasus dan dampaknya:
1. Eksekusi Perdana Sejak 2022
Eksekusi Takahiro Shiraishi menjadi pelaksanaan hukuman mati pertama di Jepang dalam hampir tiga tahun. Eksekusi ini disetujui oleh Menteri Kehakiman Keisuke Suzuki dan berlangsung pada 27 Juni di Tokyo Detention House.
Keputusan ini mencerminkan keberlanjutan kebijakan Jepang dalam menerapkan hukuman mati pada kasus-kasus pembunuhan massal.
2. Siapa “Twitter Killer Japan”?
Takahiro Shiraishi (lahir 9 Oktober 1990 di Zama, Kanagawa) dijuluki Twitter Killer Japan karena menggunakan platform Twitter untuk menjebak korban yang mengungkapkan pikiran bunuh diri atau memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri.
Antara Agustus dan Oktober 2017, ia membunuh dan memutilasi delapan wanita—termasuk tiga remaja—serta satu pria. Tubuh korbannya disimpan dalam kotak pendingin di apartemennya.
Berikut adalah foto halaman twitter yang digunakan oleh Takahiro Shiraishi untuk mencari korbannya.
3. Detail Kejahatan yang Mengguncang Negeri Sakura
-
Pelaku mengaku membantu korban bunuh diri, tapi pada kenyataannya ia memperdaya, membunuh, dan bahkan merampas mereka .
-
Korban berusia 15–26 tahun, di antaranya tiga siswi remaja.
-
Sebagian korban perempuan diserang seksual, sedangkan korban pria dibunuh untuk menutupi jejak kejahatan.
4. Prosedur Eksekusi dan Kontroversi
Eksekusi dilakukan secara rahasia dan pelaku hanya diberitahu beberapa jam sebelumnya—metode ini mendapat kritik dari organisasi HAM karena tekanan psikologis yang ditimbulkan .
Meski demikian, Menteri Suzuki dalam konferensi pers menegaskan eksekusi adalah respons yang wajar terhadap kekhawatiran publik terhadap kejahatan serius .
Mentri Kehakiman Keisuke Suzuki
5. Reaksi Publik dan Debat Hukuman Mati
Hingga Maret 2025, survei pemerintah menunjukkan 83,1% masyarakat Jepang mendukung hukuman mati—peningkatan dibandingkan 2019.
Eksekusi ini memicu perdebatan: kalangan pro-hukuman mati menyatakan hukuman perlu demi keadilan dan efek jera, sedangkan kelompok antipelaku—termasuk organisasi HAM—mengkritik metode pelaksanaan serta menuntut transparansi.
Dampak pada Sistem Peradilan Jepang
-
Eksekusi ini menjadikan Twitter Killer Japan sebagai pelaku terakhir dari daftar eksekusi di Jepang tahun 2025.
-
Jepang kini memiliki sekitar 105–106 tahanan di sel hukuman mati, tetap menjadi salah satu negara G7 yang masih menerapkan hukuman gantung.
-
Kasus ini menghidupkan kembali sorotan terhadap praktik hukuman mati dan prosedurnya, terutama setelah pemutusan vonis Iwao Hakamada yang pernah menghabiskan puluhan tahun di dalam tahanan.
Pandangan Ahli: Antara Keadilan dan Hak Asasi
-
Menteri Kejaksaan (Suzuki): Eksekusi mencerminkan sikap tegas pemerintah menghadapi kejahatan berat.
-
Organisasi HAM Internasional: Mengecam metode pelaksanaan rahasia dan menuntut reformasi sistematis.
-
Akademisi Hukum: Mengingatkan agar eksekusi hanya dilakukan setelah jaminan proses hukum yang adil dan transparan.
Kesimpulan
Eksekusi Twitter Killer Japan bukan hanya penegakan vonis terhadap pembunuhan keji, tetapi juga mempertegas posisi Jepang dalam perdebatan global tentang hukuman mati. Masyarakat terbagi: ada yang menilai sebagai langkah adil, namun sebaliknya, ada pula yang melihatnya sebagai momen refleksi terhadap hak asasi dan reformasi hukum.
Rangkuman 5 Fakta “Twitter Killer Japan”
No | Fakta |
---|---|
1 | Eksekusi pertama sejak 2022 dilakukan pada 27 Juni 2025. |
2 | Pelaku disebut Twitter Killer Japan, membunuh 9 korban. |
3 | Korban berusia remaja hingga 26 tahun, beberapa mengalami kekerasan seksual. |
4 | Metode gantung rahasia memicu kritik hak asasi manusia. |
5 | 83,1% publik Jepang mendukung hukuman mati. |
Twitter Killer Japan telah dieksekusi, namun efek keputusannya menjalar jauh ke berbagai aspek hukum, sosial, dan etika di Jepang. Kasus ini akan terus menjadi topik pembicaraan, terutama soal perlunya keseimbangan antara keadilan pidana dan penghormatan hak asasi manusia.