Kedatangan Pemimpin ke China Terkesan Mengukuhkan Arah Geopolitik Baru
Pada hari Rabu, 3 September 2025, Kedatangan Pemimpin ke China menjadi sorotan dunia. Presiden Indonesia Prabowo Subianto, setelah sempat membatalkan keberangkatan karena demonstrasi besar di dalam negeri, tiba di Beijing dan menghadiri parade militer terbesar dalam sejarah Republik Rakyat China untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

1. Indonesia: Dari Pembatalan ke Hadir dalam Satu Hari
Awalnya, Prabowo batal berangkat ke China karena gelombang unjuk rasa di berbagai kota Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Namun, pemerintah Tiongkok kembali meminta dengan tegas agar Prabowo hadir, sehingga dia memutuskan untuk tetap berangkat pada malam Selasa (2 September) dan kembali ke Indonesia malam Rabu.
2. Pameran Militer: Tanda Kekuatan yang Disinergikan dengan Diplomasi
Parade di Tiananmen adalah yang terbesar sejak era modern—menampilkan ribuan pasukan, formasi siber, drone bawah air, rudal hipersonik, ICBM, dan jet siluman. Xi mengangkat pesan bahwa dunia menghadapi pilihan “damai atau perang,” menyindir hegemoni Barat secara tersirat.
3. Aliansi Simbolis: Para Pemimpin Non-Barat Hadir
Acara ini dihadiri oleh 26 pemimpin negara termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un—menyuarakan solidaritas non-Barat dan tantangan terhadap dominasi AS.
Indonesia—melalui Kedatangan Pemimpin ke China—terlihat semakin dekat dengan kubu Global South, meskipun Modi dan negara-negara Barat memilih absen.
4. Diplomasi Intens: Pertemuan Bilateral Produktif
Di sela parade, Prabowo bertemu Xi Jinping di Great Hall of the People. Diskusi menitikberatkan pada penguatan kemitraan strategis, termasuk proyek Giant Sea Wall di pesisir utara Jawa. Ia juga bertemu dengan Vladimir Putin untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan investasi.
5. Geopolitik Global: Isyarat Pergeseran Tatanan
Kehadiran para pemimpin dari Rusia, Korea Utara, Iran, Kuba, dan negara-negara Asia menunjukkan keterbukaan China terhadap “alternatif multipolar”—bergerak jauh dari tatanan yang dipimpin Barat. Xi memanfaatkan momentum untuk menegaskan posisi China sebagai pemimpin baru dalam urusan Global South, terutama menghadapi situasi domestik yang penuh tantangan.
Sementara itu, kritik di dalam negeri muncul karena Prabowo dinilai mengabaikan kehendak rakyat yang tengah protes. Sebagian mempertanyakan prioritas pemerintah dalam memilih kehadiran internasional ketimbang menangani krisis domestik secara langsung.
Implikasi bagi Indonesia
Kedatangan Pemimpin ke China oleh Presiden Prabowo Subianto membawa konsekuensi langsung pada posisi Indonesia di mata dunia. Di satu sisi, langkah ini memperlihatkan keberanian Indonesia mengambil bagian dalam forum besar yang dihadiri oleh kekuatan global non-Barat. Dengan demikian, Indonesia dipandang sebagai negara yang berani menegaskan independensi diplomasi, tidak hanya mengikuti jejak Barat maupun sekutu tradisional.
Namun, sisi lain juga menuai kritik. Sebagian pengamat menilai bahwa kehadiran Prabowo di Beijing justru bisa memperdalam persepsi bahwa Indonesia semakin condong ke China. Kritik ini cukup kuat mengingat adanya kebutuhan Indonesia untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan negara-negara ASEAN yang memiliki kekhawatiran terhadap pengaruh Beijing di kawasan Laut China Selatan.
Respon Global terhadap Kedatangan Pemimpin ke China
Kehadiran sejumlah pemimpin, terutama dari Rusia, Korea Utara, dan Iran, dipandang sebagai upaya membentuk “koalisi simbolis” melawan dominasi Barat. Media Barat menyoroti bahwa parade militer ini bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi demonstrasi nyata bahwa Kedatangan Pemimpin ke China menegaskan terbentuknya blok alternatif. Washington dan sekutunya bahkan menilai acara tersebut sebagai provokasi politik yang berpotensi memperuncing rivalitas global.
Uni Eropa, misalnya, mengeluarkan pernyataan yang mengingatkan bahwa aliansi simbolis seperti ini dapat melemahkan upaya diplomasi perdamaian di Ukraina. Sementara itu, negara-negara ASEAN masih terpecah. Beberapa, seperti Kamboja dan Laos, cenderung mendukung keterlibatan lebih erat dengan Beijing. Namun, Singapura dan Vietnam memilih lebih berhati-hati, menekankan pentingnya netralitas regional.
Prospek Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, Kedatangan Pemimpin ke China bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai “jembatan” antara blok Barat dan blok non-Barat. Jika dimanfaatkan dengan bijak, Indonesia berpotensi memainkan peran sebagai mediator dalam isu-isu besar, termasuk konflik Laut China Selatan, perdagangan global, hingga transisi energi.
Namun, tanpa strategi diplomasi yang seimbang, risiko keterjebakan dalam tarik-menarik kekuatan global tetap membayangi.